Kaweden MY.ID adalah situs tempat berbagi informasi terkini. Berita dalam negeri kunjungi situs RUANG BACA. Untuk berita luar negeri kunjungi DJOGDJANEWS

Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa

Kisah hidup Karna adalah cerita tentang pengorbanan, kesetiaan, dan keberanian.

Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa

Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa

Karna, juga dikenal sebagai Basukarno, adalah salah satu tokoh penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia adalah putera Dewi Kunti, yang berarti ia adalah kakak sulung dari Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Meskipun ia merupakan saudara kandung Pandawa, Karna memilih berada di pihak Korawa dan pada bagian akhir perang Bharatayudha, ia diangkat menjadi senopati perang Korawa. Karna dikenal memiliki sifat angkuh, sombong, suka membanggakan diri sendiri, tetapi juga dermawan dan murah hati kepada siapa saja. Ia memiliki kesaktian yang luar biasa dan dikenal sebagai seorang ksatria yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria.

Awal Kehidupan dan Kelahirannya

Dalam kitab Adiparwa, bagian pertama dari Mahabharata, dikisahkan bahwa seorang puteri bernama Kunti mendapatkan ilmu kesaktian dari Resi Duwarsa, yaitu Mantra Adityahredaya. Dengan mantra ini, Kunti bisa memanggil dewa dan mendapat anugerah putera darinya. Suatu hari, Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit. Dewa Surya (matahari) datang dan siap memberinya seorang putera. Meskipun Kunti awalnya menolak karena hanya ingin mencoba ilmu Adityahredaya, Dewa Surya tetap memberikan anugerah seorang putera, sehingga Kunti mengandung dan melahirkan bayi tersebut dengan bantuan Dewa Surya.

Karena tidak menginginkan kehadiran bayi tersebut dan untuk menjaga nama baik negaranya, Kunti terpaksa membuang bayi yang baru dilahirkannya di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi tersebut terbawa arus sampai ditemukan oleh Adirata, seorang kusir kereta di Kerajaan Hastinapura. Adirata mengambil bayi itu dan mengangkatnya sebagai anak, memberinya nama Basusena. Ketika ditemukan, Basusena sudah berpakaian perang lengkap dengan kalung dan anting-anting.

Pendidikan dan Kesaktiannya

Basusena kecil diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata dan dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir) dan Radheya (anak Randha, istri Adirata). Meskipun dibesarkan di lingkungan keluarga kusir, Basusena memiliki keinginan kuat menjadi seorang ksatria kerajaan. Ayahnya, Adirata, mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona, yang saat itu sedang mendidik Pandawa dan Korawa. Namun, Resi Drona menolak Basusena karena ia hanya mau mengajar kaum ksatria.

Tekad Radheya untuk menjadi seorang ksatria sudah bulat, dan ia belajar ilmu perang secara diam-diam dengan mengintip Resi Drona saat mengajar Pandawa dan Korawa, terutama dalam ilmu memanah dan Danurweda. Kemampuan Radheya dalam ilmu perang tidak kalah dengan murid-murid Drona, terutama dalam memanah. Bakat dan keterampilannya membuatnya dijuluki Karna.

Pengakuan dan Pertarungan Pertama

Suatu saat, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan bangsawan Hastinapura. Setelah melalui beberapa tahap, Drona menetapkan bahwa Arjuna adalah murid terbaiknya dalam ilmu memanah. Tiba-tiba Karna muncul dan menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa, pendeta istana, meminta Karna untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna, ia harus berasal dari golongan yang sederajat. Karna pun tertunduk malu.

Duryodana, yang terkesan dengan kesaktian Karna, maju dan membelanya. Ia mendesak ayahnya, Dretarastra, raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra tidak bisa menolak permintaan putera kesayangannya tersebut, maka diangkatlah Karna menjadi raja Angga pada hari itu juga.

Adirata muncul menyambut penobatan Karna, sehingga semua orang tahu bahwa Karna adalah anak seorang kusir. Bima (Werkudara) mengejek Karna sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan Arjuna. Di lain sisi, Kunti pingsan melihat kehadiran Karna, karena langsung mengenali putera yang dibuangnya dari pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna.

Sayembara di Kerajaan Pancala

Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa

Suatu saat, Drupada, raja Kerajaan Pancala, mengumumkan sayembara: ksatria yang bisa memanah ikan kayu yang diletakkan di atas kubah balairung, dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan puterinya, Dropadi. Banyak ksatria mengikuti sayembara tersebut, termasuk Duryodana. Namun, tidak ada yang sanggup mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala, termasuk Duryodana. Karna kemudian maju dan berhasil mengangkat busur pusaka serta siap membidik sasaran sayembara. Namun, Dropadi menolak Karna, karena ia tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati mendengar perkataan Dropadi dan menyebutnya sebagai wanita sombong yang akan menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara selain dirinya.

Drupada, cemas mendengar apa yang diucapkan Karna, maka ia kemudian membuka pendaftaran baru untuk siapa saja yang berhasil memanah boneka ikan itu berhak memperistri puterinya, Dropadi, tidak harus dari golongan ksatria. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri, dan ia berhasil memenangkan sayembara itu.

Para Pandawa kemudian membawa pulang Dropadi dan mempersembahkannya kepada ibunya, Kunti sebagai oleh-oleh terbaik. Namun tanpa melihat yang sebenarnya, Kunti lalu berkata agar oleh-oleh dibagi rata berlima. Demi melaksanakan amanat sang ibu, Dropadi menikah dengan kelima Pandawa.

Pandawa pun akhirnya berhasil membangun sebuah kerajaan yang bernama Indraprastha. Kerajaan itu sangat indah sehingga membuat Korawa merasa iri, terutama Doryudana. Timbul keinginan Doryudana untuk merebut Indraprastha dari Pandawa, melalui permainan dadu, Korawa berbuat licik sehingga Indraparastha berhasil direbut oleh Korawa, dan termasuk kemerdekaan kelima Pandawa. Pada puncaknya, Yudhistira diminta untuk mempertaruhkan Dropadi untuk melanjutkan permainan.

Dursasana dengan kasar, menyeret Dropadi menuju arena permainan. Karna yang masih sakit hati mengatakan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar apa yang dikatakan karna, Arjuna bersumpah kelak akan membunuh Karna. Doryudana memerintahkan Dursasana untuk menelanjangi Dropadi di depan umum, namun berkat pertolongan Sri Kresna, kain Dropadi yang ditarik Dursusana tidak habis tapi justru semakin panjang.

Karna juga pernah berguru kepada Parasurama , yang memiliki pengalaman buruk dengan kaum ksatriya. Oleh karena itu, agar diterima menjadi murid Parasurama, Karna menyamar menjadi brahmana.

Suatu hari, Parasurama tidur di pangkuan Karna. Tiba-tiba ada seekor serangga menggigit paha Karna. Karna tidak bergerak sedikitpun dan membiarkan pahanya terluka demi menjaga gurunya agar tidak terbangun. Ketika Parasurama bangun, dia terkejut melihat muridnya tersebut seudah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit membuat Parasurama sadar bahwa Karna muridnya bukan dari golongan brahmana melainkan seorang ksatriya asli.

Karena merasa tertipu, Pasurama mengutuk Karna, kelak saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa pada senua ilmu yang telah ia ajarkan.

Karna juga mendapat kutukan kedua dari brahmana. Suatu saat ketika ia mengendarai keretanya, ia menabrak sapi seorang brahmana. Brahmana sang pemilik sapi muncul dan mengutuk karna, kelak roda keretanya akan terbenam lumpur ketika ia berperang melawan musuh terhebat.

Setelah para Pandawa selesai menjalani masa hukuman dan pengasingan selama 13 tahun karena kalah bermain dadu, mereka pun meminta haknya kembali yaitu Indraprastha kepada Doryudana. Namun pihak Korawa dibawah pimpinan Doryudana menolak permintaan Yudhistira dan keempat saudaranya, mereka justru menantang perang. 

Pandawa sebenarnya tidak ingin menggunakan cara kekerasan (perang), mereka kemudian mengirimkan Kresna sebagai duta ke Hastinapura untuk menempuh jalan damai. Namun tetap saja ditolak oleh pihak Korawa. Pada kesempatan itu, Kresna sempat menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelasan bahwa Karna dan pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Kresna membujuk Karna agar bergabung dengan Pandawa, ia mengatakan bahwa jika Karna mau bergabung dengan Pandawa, Yudhistira tentu akan merelakan takhta Hastinapura kepadanya.

Karna sangat terkejut mendengar apa yang diungkapkan Kresna bahwa ia saudara seibu dengan Pandawa, yaitu Yudhistira, Bima dan Arjuna. Ia menjadi dilema, namun dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya, yaitu tetap berada di pihak Korawa. Sebagai seorang ksatria, ia tidak mau melanggar janjinya terhadap dirinya sendiri bahwa ia akan tetap setia kepada Doryudana yang telah memberikannya keduduka, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa, selain itu Doryudana juga sudah menjadi sahabat sejatinya yang tidak pernah memandangnya sebagai anak seorang kusir kereta.

Setelah pertemuannya dengan Kresna, keesokan harinya Karna bertemu dengan Kunti, ibu kandungnya. Kunti sengaja menemui putra sulungnya itu saat Karna bersembahyang di tepi sungai. Kunti kemudian mengaku bahwa ia adalah ibu kandungnya, dan memintanya untuk bergabung dengan Pandawa. Namun Karna tetap menolak, ia sebenarnya sangat kecewa dengan Kunti yang duu tega membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri.  Karna tetap menganggap bahwa Radha adalah ibu sejatinya.

Namun Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti, ia bersumpah dalam perang kelak, bahwa anak Kunti tetap akan berjumlah lima (itu berarti ia tidak akan membunuh para Pandawa kecuali Arjuna, dan apabila ia yang kalah, anak Kunti tetap berjumlah lima, begitu juga sebaliknya, jika Arjuna yang kalah, anak Kunti pun tetap lima)

Saat perang antara Pandawa dan Korawa meletus. Pihak Korawa memilih Bisma, yaitu kakek para Pandawa dan Korawa sebagai panglima perang mereka. Namun terjadi perselisihan antara Karna dan Bisma. Bisma menolak Karna berada di dalam pasukannya dengan alasan Karna terlalu sombong dan suka meremehkan kekuatan pandawa, sementara Karna pun bersumpah tidak akan sudi ikut berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.

Bisma akhirnya roboh pada hari kesepuluh, ia terbaring di atas ratusan anak panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul dan menghampirinya untuk menyampaikan rasa prihatin, memang sudah tidak ada dendam di hati mereka. Bisma akhirnya mengaku bahwa sebenarnya ia berpura-pura mengusir Karna supaya ia tidak bertempur melawan pandawa. Bisma juga sudah mengetahu siapa Karna sebenarnya dari Bathara Narada. Bisma pun juga menyarankan agar Karna bergabung dengan Pandawa, namun Karna tetap pada pendiriannya, ia akan tetap membela Korawa meskipun ia tahu bahwa ia berada di pihak yang salah.

Setelah Bisma roboh, akhirnya Karna ikut maju ke medan laga. Kehadirannya membangkitkan semangat pihak Korawa. Ia menyarankan agar Doryudana memilih Drona menjadi panglima perang menggantikan Bisma. 

Pada hari ke-14 perang tidak dihentikan walaupun sudah malam dan itu menyalahi aturan perang. Saat itu Gatotkaca maju dan mengobrak-abrik pasukan Korawa, Doryudana cemas, Gatotkaca akan semakin tidak bisa dikendalikan. Ia pun mendesak Karna agar menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh Gatotkaca.

Sebenarnya Karna tidak begitu setuju karena senjata itu hanya dapat digunakan satu kali dan ia ingin menggunakan senjata itu saat menghadapi Arjuna. Namun karena terus di desak akhirnya Karna melemparkan senjata Konta hingga menembus dada Gatotkaca. Pihak  Pandawa berduka dengan kematian Gatotkaca, tetapi tidak dengan Kresna, justru ia merasa senang, karena nyawa Arjuna bisa terselamatkan.

Karna menjadi panglima perang menggantikan Drona yan gugur pada hari ke-15 di tangan Drestadyumna. Karna maju dengan kereta perang yang dikusiri mertuanya sendiri yaitu Prabu Salya, raja Madra.

Pada hari ke-16, putra sulung Kunti itu berhasil mengalahkan Yudhistira, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Namun tidak sampai membunuhnya, karena sesuai janjinya kepada ibundanya, Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Kali ini hanya ada dua pilihan, Karna atau Arjuna yang gugur, namun putera Kunti tetap lima, entah tanpa Arjuna, atau tanpa Karna.

Karna dengan kereta perang yang dikusiri Salya dan Arjuna dengan kereta perangnya yang dikusiri Kresna. Keduanya berusaha saling membunuh. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat kepada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran akhirnya tertunda karena hari sudah petang.

Pada hari ke-17 perang tanding antara dua kakak beradik ini dilanjutkan. Setelah brtempur cukup lama dan membuat smua orang yang melihatnya terkesima, kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Kereta Karna terperosok ke dalam lumpur, ia turun dari kereta perangnya untuk mengangkat roda keretanya, dan kesempatan itu digunakan oleh Arjuna.

Arjuna segera membidik leher Karna menggunakan panah Pasupati, Karna membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama.

Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia mendorong keretanya. Pada saat itulah Kresna mendesak Arjuna agar segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan terbaik. Namun Arjuna ragu-ragu karena saat itu karna sedang lengah dan berada di bawah. Kresna lalu mengingatkan Arjuna bahwa karna sebelumnya juga berlaku curang saat mengeroyok Abimanyu hingga mati ada hari ke-13.

Teringat akan kematian putera kesayangannya yang tragis, Arjuna pun melepaskan panah Pasupati dan melesat memenggal kepala Karna. Karna pun tewas seketika.

Dalam pewayangan Jawa, dikisahkan bahwa Karna mengabdi kepada Doryudana, namun ia berani menculik calon istri Doryudana yang bernama Surtikanti putri Salya. Keduanya terlibat hubungan asmara. Orang yang berhasil mengakap karna tidak lain adalah Arjuna, hingga terjadi perkelahian diantara keduanya. Namun keduanya akhirnya dilerai oleh Narada dan menceritakan kisah pembuangan Karna sewaktu masih dulu, hingga mereka akhirnya tahu bahwa mereka bersaudara,

Karna dan Arjuna kemudian bersama-sama menumpas pemberontakan Kalakarna raja Awangga, seorang bawahan Doryudana. Dan atas jasanya, Karna diangkat sebagai raja Awangga oleh Doryudana, dan ia juga merelakan Surtikanti untuk Karna. Dari perkawinan itu, mereka dikaruniai dua orang putera bernama Warsasena dan Warsakusuma.

Dalam Mahabharata diceritakan bahwa senjata Konta milik Karna adalah anugerah dari Bathara Indra, namun dalam pewayangan Jawa, senjata itu adalah pemberian Batara Guru. Dalam pewayangan Jawa, senjata Konta lebih dikenal dengan nama Kuntawijayadanu, yang sebenarnya akan diberikan kepada Arjuna yang saat itu sedang bertapa meminta petunjuk untuk memotong tali pusar keponakannya, Gatotkaca, putra Bimasena. 

Sementara di tempat lain, Karna juga sedang bertapa mencari pusaka. Dengan bantuan ayahnya, Batara Surya, Karna berhasil mendapatkan senjata Kuntawijayadanu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna.

Surya menciptakan suasana yang tadinya cerah menjadi remang-remang dan membuat Narada susah membedakan antara Arjuna dan Karna, karena mereka memang memiliki rupa yang sangat mirip. Narada mengira Karna adalah Arjuna dan akhirnya menyerahkan Kuntawijayadanu kepada Karna. Setelah menyadari kekeliruannya, Narada langsung pergi menemui Arjuna, dan memberi tahu bahwa senjata Kuntawijayadanu berada di tangan Karna.

Arjuna lalu mengejar Karna dan berusaha merebut senjata Kunta dari Karna. Setelah melewati pertarungan yang cukup lama, akhirnya Karna berhasil melarikan diri dengan senjata Kunta, dan Arjuna hanya berhasil membawa sarung pusaka itu. Sarung pusaka itu lah yang kemudian digunakan untuk memotong tali pusar Gatotokaca, dan anehnya sarung pusaka itu langsung menyatu ke dalam perut Gatotkaca. Dan kematian Gatotkaca ditangan karna dengan senjata Kunta itu menandakan bahwa senjata Kuntawijayadanu sudah menyatu dengan warangkanya.

Dalam versi Mahabharata, dikisahkan bahwa Karna adalah putera Surya sedangkan Arjuna adalah putera Indra. Saat Karna lahir, ia diberi anugerah oleh ayahnya berupa baju pusaka dan anting-anting. Dengan baju pusaka itu, karna akan kebal dari serangan senjata apapun. Dengan kesaktian yang dimiliki Karna, Indra mencemaskan akan keselamatan Arjuna, maka ia merencanakan untuk mengambil baju pusaka itu dari Karna.

Surya mengetahui rencana Indra, ia kemudian memberiathu karna, namun Karna tidak merasa cemas karena ia sudah berjanji akan hidup sebagai seorang yang dermawan dan akan memberikan apa saja yang orang lain minta.

Indra menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pusaka yang melekat di kulitnya sejak bayi tersebut. Indra terharu menerimanya, ia kemudian kembali ke wujud sebenarnya dan memberikan pusaka Indrasta berupa Vasavi Shakti atau Konta sebagai hadiah atas ketulusan Karna.Namun dalam versi pewayangan, pusaka yang diberikan Indra kepada Karna bukanlah Konta, tetapi bernama Badaltulak. 

Kehidupan Sebagai Senopati Korawa

Kedatangan Kresna menemui Karna menjelang perang Bharatayudha dalam versi Jawa bukanlah untuk memberitahu Karna bahwa a bersaudara dengan Pandawa, tetapi hanya untuk memintanya agar bergabung dengan Pandawa.

Namun Karna menolak dengan alasan sebagai seorang ksatria, ia harus menepati janji bahwa ia akan selalu setia kepada Doryudana yang telah mengangkat derajatnya. Kresna terus mendesak Karna, bahwa dharma seorang ksatria adalah menumpas angkara murka, dan dengan membela Doryudana, berarti Karna membela angkara murka. 

Karena terus terdesak, akhirnya Karna membuka rahasia bahwa ia tetap membela Korawa supaya bisa menghasut Doryudana agar berani berperang melawan Pandawa. Karena ia yakin angkara murka di Hastinapura akan hilang bersama kematian Doryudana dan yang bisa membunuhnya hanyalah Pandawa. Karna juga yakin bahwa jika perang meletus, dirinya pun akan menjadi korban. Tapi ia sudah rela dirinya menjadi tumbal untuk kemenangan adik-adiknya, Pandawa.

Dalam perang Bharatayuddha,Karna akhirnya tewas di tangan Arjuna. Namun setelah kematiannya, keris pusaka Karna yang bernama Kadite tiba-tiba melesat kea rah leher Arjuna. Arjuna berhsil menangkisnya menggunakan keris Kalanadah, peninggalan Gatotkaca. Kedua pusaka itu pun musnah bersama.

Surtikanti, istri Karna menyusul ke medan laga ditemani Adirata. Melihat suaminya telah gugur, Surtikanti pun bunuh diri dihadapan Arjuna. Adirata sedih dan berteriak menantang Arjuna. Bimasena tiba-tiba muncul dan menghardik ayah angkat Karna tersebut, sehingga ia lari ketakutan. Malangnya, Adirata terjatuh dan meninggal seketika.

Pada bagian akhir perang Bharatayudha, Karna diangkat menjadi senopati perang Korawa. Ia menunjukkan kesetiaan dan keberaniannya yang luar biasa dalam perang. Meskipun berada di pihak Korawa, Karna selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria dan dikenal sebagai ksatria yang gagah berani.

Kesimpulan

Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa

Kisah hidup Karna adalah cerita tentang pengorbanan, kesetiaan, dan keberanian. Meskipun ia berasal dari keluarga kusir, ia berhasil menjadi ksatria yang dihormati. Kesaktian dan sifat dermawan Karna tetap dikenang dalam epik Mahabharata dan berbagai versi pewayangan Jawa.

Anda telah membaca artikel dengan judul Karna: Ksatria Korawa dengan Kesetiaan dan Kesaktian yang Luar Biasa. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung di website Kaweden MYID.

Lokasi Kaweden