Kaweden MY.ID adalah situs tempat berbagi informasi terkini. Berita dalam negeri kunjungi situs RUANG BACA. Untuk berita luar negeri kunjungi DJOGDJANEWS

Gayot vs Kepala Pengadilan: Perang yang Mengguncangkan R.I.P

Pada pagi hari tersebut, kota ditutupi oleh kabut halus. Burung-burung terbang dari satu genteng ke lainnya, meramalkan awal aktivitas di sini. Dalam suasana ramai pasar, tampaklah seorang lelaki kurus bersurai janggut pendek bergerak pelan-pelan. Ia memakai pakaian usia tua, celana agak longgar, serta sendal jepit yang hampir aus. Akan tetapi, fokus orang-orang tidak pada pakaiannya, namun lebih kepada apa yang dibawanya: alat pemukul batu, cangkul, dan tas kecil berisi kapur putih.

Penduduk di pasar pun memandangi dengan rasa ingin tahu. Ada pula yang bergumam pelan sambil bertukar pikiran.

"Hei, Gayot! Kenapa membawa alat berat seperti palu dan gergaji begitu pagi sekali?" tanya seorang petani sayuran sambil mengerutkan kening.

Gayot menghentikan langkahnya sebentar, menyunggingkan senyum pahit, kemudian merespons, "Kuberi tahu kau bahwa aku ingin menemukan kebenaran."

Pedagang itu mengerutkan dahi lebih jauh, bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Sebelum dia bisa menanyakan pertanyaan lain, Gayot telah berjalan pergi dengan tenang, membiarkan keraguannya tertinggal di belakang.

Di dekat pasar, petugas kebersihan yang membersihkan jalanan mulai merasa curiga.

"Hai, Gayot! Mengapa kamu membawa palu dan cangkul? Ingin menggali kuburan?" dia bertanya dengan nada setengah bercanda.

Gayot melengkukkan bahunya sambil merespons dengan nada acuh, "Tidak, aku ingin mencari peruntungan."

Pegawai tersebut menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh orang ini," bisiknya sebelum melanjutkan membersihkannya.

Sepanjang petualangan tersebut, sejumlah besar orang lainnya menanyakan pertanyaan serupa. Respons dari Gayot senantiasa bervariasi --- sesekali kelihatan penuh filsafat, dan kadang-kadang tampak seperti guyonan aneh.

"Aku mau menanam harapan."

Saya berkeinginan untuk membongkar misteri di dalam bumi.

Saya sedang mengejar sesuatu yang sudah lenyap untuk waktu yang sangat lama.

Setiap orang yang berusaha mencari jawaban hanya bisa mengernyitkan dahi, merasa penasaran namun terlalu malas untuk menyelidiki anehnya situasi tersebut lebih lanjut.

Akhirnya, perjalanan kakinya Gayot berakhir di hadapan bangunan mewah yang dilengkapi pilar-pilar menjulang dan tembok tebal. Tertera pada pintu masuknya tulisan dalam ukiran besar:

DIREKTORI PELAKSANAAN HUKUM DAN KEBIJAKSANIAH

(Mereka menamainya sebagai Kantor Penghakiman Agung Nusantara).

Di hadapan pintu masuk perkantoran tersebut, Gayot menusukkan cangkernya ke bumi. Satu kali, dua kali, kemudian ia mulai mencungkil tanah dengan sungguh-sungguh.

Kehebohan pun timbul. Sang pegawai kantoran yang baru saja tiba sangat terkejut ketika melihat ada orang sedang mencoret-coret tanah di hadapan pintu masuk. Berbagai macam pengamat spontan turut serta, termasuk beberapa sopir ojek, penjual asongan, hingga para pejalan kaki ikut mengerumuni tempat kejadian tersebut.

Satpam bertubuh kekar yang memakai seragam gelap mendekat.

"Hai, kamu itu! Apa yang sedang kamu kerjakan?" dia bertanya dengan nada keras.

Sambil terus melanjutkan tugasnya, Gayot dengan tenang merespons, "Aku tengah menyiapkan kuburan."

Tempat pemakaman?" Penjaga tersebut makin kebingungan. "Pemakaman siapa?

Gayot berhenti menggali, memukul-mukulkan pakaian kotor debunya, kemudian merespons dengan damai, "Pemakaman untuk kebenaran dan keadilan yang telah tiada."

Kelompok orang itu pun mulai bergosip pelan-pelan. Ada yang menyeringai, sementara sebagian lain terlihat sedang berfokus memikirkannya.

Tidak berselang lama, seorang pria yang rapi memakai jas muncul dari bangunan besar tersebut. Dia adalah Kepala Kantor Pengadilan Tinggi Nusantara, lelaki berkacamata dengan rambut teratur serta wajah yang menunjukkan kedigdayaan. Melalui pandangan tajamnya, dia maju menuju arah Gayot.

"Kamu bermaksud membongkar pemakaman di hadapan kantor kita?" tanyanya dengan nada yang menunjukkan kekuasaan.

Gayot memandanginya, menyunggingkan senyum yang samar, kemudian berucap dengan nada damai, "Tidakkah itu terlihat jelas? Kebenaran dan keadilan telah tiada, sehingga kewajibanku adalah menghormati pemakaman mereka."

Lelaki tersebut mengernyit. "Kau bermaksud apa? Tempat ini adalah pusat penegakan keadilan!"

Gayot terkikih. "Ya begitu? Maka kenapa kebenaran serta keadilan cuma mendukung mereka yang punya wewenang dan uang? Kenapa orang tak mampu selalu kalah di pengadilan? Mengapa undang-undang mirip jala laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah sementara yang kuat bebas berkeliaran?"

Semua orang menjadi lebih berisik. Sejumlah pekerja di kantor pun mulai bertatap muka. Ada juga beberapa yang sepertinya mau mengelak, namun tidak ada suara yang terdengar keluar.

Dengan nada yang semakin meninggi, Gayot berkata, "Di negara ini, orang kaya dapat menyewa hukum sedangkan mereka yang berkuasa sanggup meredam kebenaran. Bagi kaum miskin, tidak ada celah untuk didengar atau memiliki tempat perlindungan. Kecurangan dapat dibiayai sementara keadilan bisa ditawarkan seperti barang dagangan. Lalu, bagaimana nilai dari segalanya ini?"

Kepala Kantor itu memandangnya dengan tajam. "Apakah kau telah mencemarkan sistem peradilan kita?"

Gayot tersipu malu. "Bukan itu, aku cuma mengungkapkan kebenaran. Kalau kamu merasa terluka, bisa jadi karena apa yang kukatakan memiliki sedikit benarnya."

Kerumunan menjadi makin padat. Sebagian orang mulai memelorotkan tangan dengan lembut, di saat bersamaan beberapa lainnya hanya menggeleng perlahan, seperti teringat akan hal yang telah lama tersimpan dalam ingatan mereka.

Kepala Kantor itu diam. Wajahnya memerah, tidak karena amarah, melainkan karena kebuntuan dalam menemukan argumen yang tepat.

Gayot menyunggingkan kantong kapur putihnya dan menuliskan sesuatu di permukaan tanah, persis di hadapan lobang yang baru saja dia buka.

KEBENARAN DAN KEADILAN -- ADEU

Setelah itu, dia menusukkan cangkulnya ke bumi, membelokkan tubuhnya, lalu melangkah pergi dengan tenang.

Orang-orang hanya dapat memandangi perjalanannya, meninggalkan sebuah lobang lebar didekat gerbang gedung perkantoran besar tersebut ---lobang yang jauh lebih dalam dari sekedar penggalangan tanah. Ini merupakan lubang pemahaman.

Pada hari tersebut, suatu kebenaran yang menyakitkan sudah dimakamkan, namun tak semua orang mampu menghapusnya dari ingatan.

(BERLANJUT dengan tema; GAYOT)

Anda telah membaca artikel dengan judul Gayot vs Kepala Pengadilan: Perang yang Mengguncangkan R.I.P. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung di website Kaweden MYID.

Lokasi Kaweden