Kaweden MY.ID adalah situs tempat berbagi informasi terkini. Berita dalam negeri kunjungi situs RUANG BACA. Untuk berita luar negeri kunjungi DJOGDJANEWS

Orang yang Sering Overthinking Ketika Kirim Pesan "Oke"? Mungkin Punya 7 Ciri ini, Kata Ahli Psikologi

Ruang Baca News Terkadang, mengirim balasan "oke" dapat menjadi sesuatu yang kompleks bagi beberapa individu. Meskipun sepertinya begitu mudah, ada orang yang merasakan ragu-ragu dan cemas saat akan menekan tombol kirim meski hanya memberikan respons singkat itu.

Ini bukan sesuatu yang jarang terjadi. Sebenarnya, pakar psikologi sudah menemukan berbagai tanda-tanda tertentu yang umumnya dialami oleh orang-orang yang kerap kali keasyikan memikirkan segala sesuatunya, termasuk masalah-masalah sepele.

Berpikiran terlalu banyak bukan hanya sebuah kebiasaan, melainkan juga terkait dengan sejumlah faktor psikologi yang mempengaruhi bagaimana kita bertukar pikiran. Sebagaimana dilaporkan dari Blog Herald pada Jumat (25/4), berikut tujuh perilaku umum yang dimiliki oleh orang-orang yang sering overthinking saat mengirim pesan "oke".

1. Terperangkap dalam Pencarian Kesempurnaan

Untuk mereka yang kerap berpikir terlalu banyak, memilih emoji yang sesuai dengan pesan singkat seperti "oke" dapat jadi tantangan besar. Orang-orang semacam itu umumnya memiliki sifat perfeksionis, yang tak sekadar mengejar keunggulan di tempat kerja, tapi juga dalam setiap aktivitas harian, termasuk saat mengirim pesan.

Perfeksionisme merupakan dorongan untuk menggapai ketingkatan ideal, biasanya diiringi oleh tinjauan pribadi yang keras serta keprihatinan akan opini publik. Ini dapat menyebabkan seseorang berpikir bahwa tiap kalimat atau petikannya memiliki bobot signifikan. Sehingga, hal itu mungkin menjebloskannya pada siklus tanpa akhir dalam usaha menyelesaikan pekerjaan demi mencapai kelengapan.

Tetapi, perlu diingat bahwa komunikasi yang efektif lebih mementingkan keterbukaan dibandingkan dengan sempurna. Jangan membiarkan pengejaran akan kesempurnaan menghalangi Anda dari pengiriman pesan yang telah mencukupi.

2. Tertahan oleh Penimbangan Berlebihan

Pernahkah kamu merasa terjebak saat menulis pesan "oke", hingga akhirnya kamu mengeditnya berkali-kali? Ini adalah fenomena yang disebut "paralisis analisis", di mana seseorang terjebak dalam kebingungan karena terlalu banyak menganalisis suatu situasi.

Ketika kita terlalu lama merenung atau memikirkan berbagai kemungkinan, kita malah menjadi kesulitan untuk mengambil keputusan. Seperti yang dikatakan oleh Sigmund Freud, "Pikiran itu seperti gunung es; hanya sepertujuhnya yang tampak di permukaan".

Dalam hal ini, terlalu banyak berpikir dapat membawa kita ke dalam ketakutan atau kecemasan yang tidak perlu. Ingatlah bahwa kata balasan "oke" itu mudah dan tak perlu dijemur panas-panas pikiran. Kadang-kadang, kita harus melepas rasa ragu dan langsung saja kirim pesan tersebut.

3. Ketakutan Untuk Nampak Acuh

Untuk beberapa individu, mengirim teks "oke" tanpa penambahan kalimat atau emotikon mungkin dirasakan sebagai kurangnya minat. Ketakutan akan persepsi negatif seperti acuh atau telantar kerap menjadikan orang menambahkan emoji atau tanda seru ekstra pada balasan mereka yang hanya berisi "oke".

Perasaan cemas ini biasanya bermula dari dorongan untuk mendapatkan penghargaan dan penerimaan dari orang lain. Karena bersifat sosial dengan naluri dasarnya, kita memang mengharapkan validasi dari masyarakat di sekeliling kita. Di sini, kita merasa penting untuk menciptakan impresi yang baik, termasuk dalam hal-hal seperti percakapan teks pendek.

Namun, penting untuk dipahami bahwa mayoritas orang tidak akan memeriksa pesanmu dengan semacam detail seperti yang kamu bayangkan. Bila hal tersebut terjadi, itu hanyalah interpretasi mereka saja, bukannya realita sesungguhnya. Usahakanlah agar lebih yakin saat mengirim kata "oki" tanpa adanya ketakutan.

4. Kebutuhan untuk Mengontrol

Berpikiran terlalu banyak dapat timbul dari dorongan untuk mengendalikan bagaimana kami dilihat oleh orang lain. Lewat mempertimbangkan setiap kalimat atau ikon yang dipakai, kita berharap mampu menyusun respons yang dihasilkannya.

Orang dengan keinginan pengendalian yang kuat biasanya lebih waspada dan mencoba memegang kendali atas semua aspek dalam tindakan mereka. Tentu, hal itu dapat menyulitkan kita untuk tetap pada pemikiran sederhana walaupun maksudnya hanya mengkomunikasikan pesan yang singkat dan jelas.

Harus diperhatikan bahwa walaupun kita berusaha sungguh-sungguh mempengaruhi cara orang lain menangkap pesan yang disampaikan, sebenarnya kita tak dapat mengatur secara keseluruhan bagaimana mereka bereaksi atas hal tersebut.

5. Dampak Pengalaman Sebelumnya

Masa lalu dengan pengalaman negatif, misalnya kesalahpahaman atau perselisihan akibat pesan teks yang kurang jelas, dapat menyebabkan orang menjadi lebih waspada saat mengirim pesan di kemudian hari. Jika sudah pernah merasakan miss komunikasi sebelumnya, biasanya kita akan berpikir ekstra keras agar tak terjadi lagi situasi serupa.

Sebagaimana pernah disampaikan oleh B.F. Skinner, "Akibat dari suatu tindakan mempengaruhi peluang tindakan tersebut berulang." Apabila seseorang menghadapi dampak buruk akibat pesan teks yang sulit dipahami pada masa lalu, maka cendrungnya untuk merenungi hal-hal secara berlebihan di waktu mendatang pun menjadi semakin tinggi.

Akan tetapi, tiap-tiap pembicaraan memiliki ciri tersendiri, dan momen negatif tidak perlu mengatur cara kita bercakap-cacai di kemudian hari. Karena itu, lego ketidaksukaanmu akan kecemasan tersebut dan hantarkan pesan "oke" dengan pikiran yang jernih.

6. Ilusi Produktivitas

Berpikir terlalu banyak sesekali memberi kita perasaan palsu bahwa kita sedang berbuat produktif. Kami merasakan dampak positif ketika menghabiskan waktu ekstra untuk menyusun pesan "oke" yang sempurna, seolah-olah kami telah membawa sumbangan besar ke dalam dialog tersebut. Padahal, itu hanyalah sebuah jebakan psikologis.

Sesuai dengan pernyataan Albert Ellis, "Kesenian di balik cinta terletak pada ketekunan." Dalam konteks komunikasi, keterampilan ini sebenarnya berkaitan erat dengan sederhana dan kejujuran, daripada memusingkannya menjadi sesuatu yang rumit.

Jangan sampai kamu tertipu oleh anggapan bahwa makin lama kita memikirkan suatu pesan, maka akan mendapatkan hasil yang semakin bagus. Kadang-kadang, apa yang lebih baik itu justru yang lebih simpel.

7. Antisipasi Penyesalan

Akhirnya, rasa khawatir terhadap penyesalan kerapkali menjadi penyebab orang berpikiran berlebihan saat hendak mengirim pesan "oke". Ketakutan menyampaikan hal yang tidak tepat dan nantinya merasa menyesal dapat membuat kita bimbang sampai-sampai enggan mengirimkan pesan apa pun.

Meski begitu, sebagaimana dijelaskan oleh psikolog Daniel Kahneman, "Kami kerapkali menggembungkan kepentingan dari suatu emosi singkat." Ketakutan akan rasa bersalah bisa jadi lebih mencekam dibandingkan dengan rasa bersalah itu sendiri. Tetap ingat bahwa balasan "oke" hanyalah sebuah tindakan ringan yang tak perlu dipertimbangkan secara berlebihan.

Menghabiskan waktu lama untuk memikirkan tentang pengiriman pesan singkat seperti "oke" merupakan suatu kondisi yang sering dijumpai pada banyak individu. Meskipun tampaknya remeh, situasi tersebut kerap dikaitkan dengan beragam rasa takut, khawatir, serta dorongan untuk menjaga kendali atas semua aspek.

Meskipun demikian, penting untuk ditegaskan bahwa pesan “oke” hanya merupakan ekspresi ringkas yang tak perlu dibuat menjadi hal yang kompleks. Jangan membiarkan rasa ragu menjauhkanmu dari komunikasi yang terbuka dan jujur.

Anda telah membaca artikel dengan judul Orang yang Sering Overthinking Ketika Kirim Pesan "Oke"? Mungkin Punya 7 Ciri ini, Kata Ahli Psikologi. Semoga bermanfaat dan terima kasih sudah berkunjung di website Kaweden MYID.

Lokasi Kaweden